Sabtu, 04 April 2009

Indonesian Legal System

Pelaksanaan Acara Perdata

I. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata:

· Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.

· Rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga Hukum Dagang) dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonnis) hakim juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; rangakaian peraturan-peraturan hukum tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata material.

Perkara perdata:

· Suatu perkara mengenai perselisihan antara kepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan hukum dengan kepentingan perseorangan, misalnya: perselisishan tentang perjanjian jual beli atau sewa menyewa, pembagian warisan, dsb.

II. Asas-Asas Hukum Acara Perdata

a. Hakim bersifat menunggu

Asas daripada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.

Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak dijaukan kepadanya, yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (pasal 14 ayat 1 UU 14/1970). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabakan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya. Kalau sekiranya hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 27 UU 14/1970).

b. Hakim Pasif

Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asaanya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha dan mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (pasal 5 UU 14/1970).

Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan sedang hakim tidak dapat menghalanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (pasal 130 HIR, 154 Rbg.).

Hakim wajib mengaaaadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 ayat 2 dan 3 Rbg.).

c. Sifat terbukanya pengadilan

Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap ornag dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memeberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta lebih untuk menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil pada masyarakat (pasal 17 dan 18 UU 14/1970).

Apabila putusan diucapkan di dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Di dalam praktek meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, tetapi kalau di dalam berita acara dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang telah dijatuhkan tetap sah. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social control”. Asas terbukanya persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis.

d. Mendengar kedua belah pihak

Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat 1 UU 14/1970, mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya.

e. Putusan harus disertai alasan-alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 23 UU 14/1970, 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg.). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggunganjawab hakim daripada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.

f. Beracara dikenakan beaya

Beaya perkara ini meliputi beaya kepaniteraan dan beaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta beaya materai. Jika meminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan beaya.

Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar beaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran beaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 237 HIR, 273 Rbg.). Di dalam prakteknya surat keterangan itu cukup dibuat oleh camat yang membawahkan daerah tempat yang berkepentingan tinggal.

g. Tidak ada keharusan mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (pasal 123 HIR, 147 Rbg.). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan pada seorang kuasa.

III. Sumber-sumber Hukum dari Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata di Indonesia bersumber pada 3 kodifikasihukum, yakni:

· Reglemen hukum acara perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa, di Jawa dan Madura.

· Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura (Herziene inlandsch Reglement = H.I.R).

· Reglemen hhukum untuk daerah seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia di daerah luar Jawa dan Madura.

Namun dalam kenyataanya pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini, sebagian besar digunakan RIB, maka pengadilan mempergunakan aturan-aturan dari Reglement Hukum Acara Perdata.

IV. Tata Cara Pelaksanaan Sidang Hukum Perdata

1. Pengajuan Gugatan

a. Pengertian Permohonan dan Gugatan

Di samping perkara gugatan, dimana terdapat pihak penggugat dan pihak tergugat, ada perkara-perkara yang disebut permohonan, yang diajukan oleh seorang pemohon.

Perbedaan antara gugatan dengan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.

Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar, akan tetapi orang yang “dirasa” melanggar haknya tau hak mereka itu, tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu. Untuk penentuan siapa yang benar dan berhak diperlukan adanya suatu putusan hakim. Di sini hakim benar-benar berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak tersebut yang benar dan siapa yang tidak benar.

Dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahliwaris almarhum secara bersama-sama menghadap pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan ketentuan pasal 236a H.I.R. Di sini hakim hanya sekedar member jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tat usaha Negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazimnya disebut putusan declaratoir yaitu suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja.

Permohonan yang sering diajukan di muka pengadilan adalah mengenai permohonan pengangkatan anak, angkat wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dsb.

b. Cara Mengajukan Gugatan

Pengajuan gugatan hukum acara perdata diatur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan pasal tersebut hukum acara perdata menganut asas bahwa gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukana atau tempat tinggal tergugat. Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, maka gugatan di ajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu tergugat.

Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka dalam hukum acara perdata gugatan dapat diajukan ke pengadilan tempat kediaman penggugat atau apabila menyangkut benda tak bergerak maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan tempat benda tersebut terletak.

Pihak penggugat (yang dirugikan) mengajukan surat gugatan kepada kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan surat gugatan tersebut, Juru Sita menyampaikan sebuah surat pemberitahuan kepada pihak tergugat (yang menimbulkan kerugian) yang isi pokoknya menyatakan, bahwa pihak tergugat harus datang menghadap ke kantor pengadilan untuk diperiksa oleh hakim dalam suatu perkara keperdataan seperti yang disebutkan dalam surat pemberitahuan tersebut.

Untuk menguruskan suatu perkara perdata di pengadilan, pihak penggugat dapat juga memintakan bantuan jasa (perantaraan) seorang pengacara atau pembela (advokat).Tata cara mengajukan gugatan haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, karena jika tidak gugatan yang di ajukan itu akan menjadi tidak sah.

Pemberitahuan gugatan diberikan langsung oleh jurusita yang ditunjuk oleh yang berkepentingan, jika tergugat bertempat tinggal di ibu kota tempat majelis bersidang untuk mengadili gugatan itu :

· Jika tergugat bertempat tinggal di luar ibu kota, tetapi masih didalam wilayah hukum hakim yang bersangkutan kepada siapa di ajukan gugatan itu atau langsung oleh seorang jurusita yang ditugaskan oleh penggugat atau atas pilihan penggugat dengan surat permohonan pengacaranya dengan perantaraan hakim tersebut yang akan mengirimkan akta gugatannya kepada Asisten Residen yang wilayahnya meliputi tempat tinggal tergugat agar atas perintahnya oleh orang yang berkewajiban diberitahukan kepada tergugat.

· Jika tergugat bertempat tinggal diluar wilayah kekuasaan hakim yang menerima gugatan atau segera dalam hal seperti di uraikan di atas atau atas pilihan penggugat dan atas permohonan pengacaranya dengan surat kepada hakim di tempat tinggal penggugat yang kemudian akan memberitahukanya dengan perantaraan juru sita yang ditunjuknya, jika tergugat bertempat di dalam karesidenan tempat akan diadakan sidang majelis, dan jika tidak tinggal disitu dia akan mengirim surat kepada Asisten Residen yang mempunyai wilayah tempat tinggal tergugat.

· Ketentuan-ketentuan diatas berlaku juga terhadap semua pemberitahuan panggilan yang lain dan majelis-majelis hakim serta para Asisten Residen wajib segera memerintahkan surat-surat gugatan dan surat-surat panggilan lainnya untuk disampaikan kepada yang berkepentingan dan kemudian menyampaikan laporan tentang penyampaiannya kepada hakim.

Dalam hukum acara perdata pendaftaran perkara diatur dalam pasal 121 HIR. Berdasarkan pasal tersebut, maka gugatan diajukan ke pengedailan yang berwenang baik secara kompetensi absolut maupun relatif. Dalam mengajukan gugatan, penggugat diwajibkan membayar uang muka biaya perkara.

Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara gugatan kemudian didaftarkan oleh panitera dalam buku daftar perkara Panitera tidak akan memasukkan gugatan tersebut ke dalam buku daftar perkara sebelum penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditetapkan oleh pengadilan menurut keadaan. Uang muka biaya perkara ini meliputi biaya pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak, biaya saksi, biaya administrasi kepaniteraan, yang semuanya akan diperhitungkan kemudian setelah perkara diputus.

Selain itu, kepada penggugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, dibuka kemungkinannya utuk mengajuakn permohonan berperkara tanpa biaya. Permohonan tersebut diajukan bersamaan pada saat mengajukan gugatan yang disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau Lurah setempat.

Setelah memeriksa kebenaran ketidakmampuan tersebut, pengadilan akan menetapkan apakah permohonan berperkara tanpa biaya itu dikabulkan atau tidak. Apabila permohonan itu dikabulkan, maka biaya perkara tersebut menjadi beban negara. Terhadap penetapan pengadilan ini tidak dapat dimintakan upaya hukum, artinya penetapan pengadilan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. Penetapan berperkara tanpa biaya hanya berlaku untuk satu tingkat saja, pada tingkat berikutnya harus diajukan permohonan baru lagi.

c. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan

Tenggang waktu mengajukan gugatan yang mengakibatkan gugatan menjadi daluwarsa atau prematur tidaklah begitu prinsip. Dalam hukum acara perdata, memang dapat saja terjadi gugatan dianggap daluwarsa, tetapi daluwarsanya gugatan itu semata-mata karena kelalaian penggugat.

Disamping itu, dalam hukum acara perdata tenggang waktu mengajukan gugatan relatif lebih lama dan setiap masalah berbeda tenggang waktunya. Begitu juga mengenai gugatan prematur dapat saja terjadi tetapi itu menjadi sangat naif karena penggugat seharusnya mengetahui bahwa tergugat belum dapat dikatakan wanprestasi, sebelum tenggang waktu yang diperjanjikan jatuh tempo.

d. Isi gugatan

Menurut hukum acara perdata isi gugatan diatur dalam pasal 8 nomor 3 Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering).

Berdasarkan pasal tersebut persyaratan mengenai isi gugatan pada pokoknya harus memuat:

· Identitas para pihak;nama kecil;nama dan tempat tinggal penggugat dengan menyebut tempat tinggal pilihan dalam jarak paling jauh sepuluh pal (15 kilometer dari gedung tempat bersidang hakim yang akan mengadili perkara yang bersangkutan) ; nama dan tempat tinggal tergugat serta menyebut pula nama orang yang menerima turunan pemberitahuan gugatan. Jika pihak penggugat dan tergugat merupakan badan hukum atau badan usaha dagang, maka namanya dicantumkan sebagai pengganti nama kecil.

· Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan atau yang lebih dikenal dengan sebutan fundamentum petendi atau posita (atau dasar tuntutan yang biasanya terdiri dari dua bagian yaitu;bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya)

a. Petitum atau tuntutan ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim.

b. Upaya-upaya dan pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas.

2. Perihal Acara Istimewa

a. Pengertian Gugur dan Perstek

Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara tertentu, salah satu pihak tidak hadir atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada sidang yang telah ditentukan, maka berlakulah acara istimewa yang diatur dalam pasal 124 dan 125 H.I.R.

Perlu dikemukakan, bahwa apabila ada banyak penggugat atau banyak tergugat, maka haruslah kesemuanya penggugatdan tergugat yang tidak hadir. Apabila dari pihak penggugat/tergugat ada yang hadir, acara istimewa ini tidak berlaku, sidang akan diundurkan dan perkara tersebut akhirnya akan diputus menurut acara biasa.

Untuk lebih jelasnya berikut ini dimuat ketentuan pasal 124 H.I.R. yang mengatur perihal gugur, yang berbunyi sebagai berikut :

“ Jikalau si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan si penggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukkan gugatannya sekali lagi.”

Sebelum gugatan digugurkan, hakim harus terlebih dahulu dengan teliti memeriksa berita acara pemanggilan pihak-pihak, apakah pihak penngugat telah dipanggil dengan patut, seksama, dan seandainya cara pemanggilan telah tidak dilakukan sebagaimana mestinya, hakim tidak boleh menggugurkan gugatan, melainkan akan menyuruh jurusita untuk memanggil pihak penggugat sekali lagi.

Biaya pemanggilan yang tidak sah tersebut seharusnya menjadi tanggungan dari jurusita yang telah melakukan pemanggilan secara tidak sah itu, setidak-tidaknya terhadap jurusita yang tidak cakap itu harus diberikan teguran. Kalau yang bersangkutan melakukan kesalahan semacam itu berkali-kali, terhadapnya hendaknya diambil tindakan administrative, misalnya dengan melarang ia untuk sementara waktu melakukan panggilan-panggilan.

Juga apabila, meskipun pihak penggugat telah dipanggil dengan patut, pihak penggugat telah mengirim orang atau surat yang menyatakan bahwa pihak yang penggugat berhalangan secara sah atau pihak penggugat telah mengutus wakilnya, akan tetapi ternyata surat kuasa yang ia telah berikan kepada wakilnya itu tidak memenuhi persyaratan, maka hakim harus cukup bijaksana untuk mengundurkan sidang.

Perstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hokum acara harus dating. Perstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak dating menghadap pada sidang pertama dan apabila perkara diundurkan.

Apabila tergugat atau para tergugat pada sidang pertama hadir dan pada sidang-sidang berikutnya tidak hadir, atau apabila tergugat atau para tergugat pada sidang pertama tidak hadir lalu hakim mengundurkan sidang. Dan pada sidang yang kedua ini tergugat atau para tergugat hadir dan kemudian pada sidang-sidang berikutnya tidak hadir lagi, maka perkara akan diperiksa menurut acara biasa dan putusan dijatuhkan secara contradictoir (dengan adanya perlawanan).

Pasal 125 ayat 1 H.I.R menentukan, bahwa untuk putusan perstek yang mengabulkan gugat diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut : (1) Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak dating pada hari sidang yang telah ditentukan;

(2) ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang syah untuk menghadap;

(3) ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut;

(4) petitum tidak melawan hak;

(5) petitum beralasan.

Syarat-syarat tersebut diatas harus satu persatu diperiksa dengan seksama, baru apabila benar-benar persyaratan itu kesemuanya terpenuhi, putusan perstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugat.

b. Cara Mengajukan Perlawanan Terhadap Putusan Perstek

Perihal cara mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek diatur dalam pasal 129 H.I.R.

Menurut pasal 129 H.I.R. ayat 1 tersebut, yang dapat mengajukan perlawanan adalah tergugat atau para tergugat yang dihukum dengan putusan tidak hadir dan tidak menerima putusan tersebut. Jadi hanya tergugat yang dapat melakukan perlawanan, lagipula tergugat yang dihukum, artinya yang dikalahkan, baik gugatan dikabulkan seluruhnya atau untuk sebagian.

Tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan adalah :

1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan perstek diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan itu sendiri;

2. Sampai hari kedelapan setelah teguran seperti yang dimaksud pasal 196 H.I.R., apabila yang ditegur itu dating menghadap;

3. Kalau ia tidak dating waktu ditegur sampai hari kedelapan setelah sita eksekutorial (pasal 197 H.I.R.).

Perlawanan terhadap putusan perstek hanya dapat diajukan sekali saja, artinya hanya terdapat putusan perstek yang pertama, sedang terhadap putusan perstek yang kedua yang bersangkutan hanya diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding.

3. Perihal Pemeriksaan Dalam Sidang Pengadilan

a. Sifat dan Arti Akta Perdamaian Diperbandingkan dengan Perdamaian di Luar Sidang

Dalam menyelesaikan sengketa, bias saja pihak yang bersengketa telah meminta bantuan teman baiknya atau Kepala Desa yang bersangkutan dalam usaha mereka untuk menyelesaikan perkara tersebut di luar sidang secara damai sebelum perkara itu diajukan atau selama prose situ berlangsung dan kadang usaha tersebut berhasil dalam hal perkara sedang berjalan, gugat lalu dicabut.

Lain cara untuk berdamai adalah selama perkara tersebut sedang diperiksa dan perdamaian dilakukan didepan hakim. Menurut ketentuan ayat 1 pasal 130 H.I.R., hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan tinggi.

Apabila hakim berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berpekara itu, lalu dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut.

Akta perdamaian mempunyai kekutan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap. Bagi pihak yang diharuskan menyerahkan sesuatu atau diharuskan untuk membayar sejumlah uang tertentu, apabila ternyata tidak mau dengan sukarela memenuhi kewajiban hukumnya maka, eksekusi dilakukan menurut cara biasa, artinya penyerahan barang yang harus diserahkan itu dilakukan secara paksa atau pelelangan dilakukan terhadap barang-barang yang bersangkutan untuk memperoleh jumlah uang yang harus dibayar kepada pihak yang berhak menerima pembayaran tersebut termasuk biaya perkara.

Berbeda dengan perdamaian yang telah berhasil dilakukan oleh hakim didalam sidang adalah perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak sendiri di luar sidang. Perdamaian semacam ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadilan. Persoalannya hanya selesai untuk sementara dan sama sekali tidak dapat dijamin bahwa suatu ketika tidak akan meletus lagi dan mungkin lebih hebat dari yang semula.

b. Perihal Jawaban Tergugat , Gugat Ginugat dan Eksepsi

Jawaban tergugat diajukan setelah usaha perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil. Jawaban tergugat terdiri dari 2 macam yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi dan jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.

Eksepsi terdiri dari 2 macam yakni eksepsi yang menyangkut kekuasaan relative dan eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut.

Eksepsi mengenai kekuasaan relative adalah eksepsi yang menyatakan, bahwa pengadilan negeri tertentu adalah tidak berkuasa mengadili perkara tertentu. Eksepsi semacam tersebut diatas tidak diperkenankan untuk diajukan pada setiap waktu, melainkan harus diajukan pada permulaan sidang, yaitu sebelum tergugat menjawabpokok perkara secara lisan maupun tertulis. Apabila eksepsi tersebut terlambat diajukan, maka eksepsi tersebut tidak akan diterima oleh pengadilan.

Pasal 134 H.I.R. menyangkut eksepsi mengenai kekuasaan absolute ialah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu, dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak termasuk wewenang pengadilan negeri, akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan yang lain. Eksepsi mengenai kekuasaan absolute dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung bahkan wajib karena jabatannya, artinya dapat diminta oleh pihak tergugat untuk memecahkan soal berkuasa tidaknya beliau memeriksa persoalan tersebut dengan tidak usah menunggu diajukannya keberatan dari pihak yang berperkara.

Perihal gugat-ginugat, gugat balasan, gugat balik atau gugat dalam rekonpensi diatur dalam pasal 132a dan pasal 132b H.I.R. Kedua pasal tersebut member kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat apabila ia atau mereka kehendaki dalam semua perkara untuk mengajukan gugat balasan atau gugat balik terhadap penggugat.

Gugat balasan diajukan bersama-sama dengan jawabanbaik itu merupakan jawaban lisan atau tertulis. Dalam praktek gugat balsan dapat diajukan selama belum dimulai dengan pemeriksaan bukti, artinya belum pula dimulai dengan pendengaran para saksi.

c. Perihal Menambah atau Mengubah Surat Gugatan

Dalam hal perubahan atau penambahan gugat diperkenankan, kepada pihak tergugat hendaknya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk membela diri dengan sebaik-baiknya. Apabila perubahan atau penambahan gugat sama sekali tidak diperkenankan, maka pihak penggugat akan “dipaksa” untuk membuat gugat baru, dengan pengeluaran biaya-biaya baru yang tidak sedikit.

Perubahan gugat dilarang apabila berdasar atas keadaan hokum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain, atau apabila penggugat mengemukakan keadaan baru sehingga dengan demikian mohon putusan hakim tentang suatu hubungan hukum antara kedua belah pihak yang lain daripada yang semula telah dikemukakan.

Contoh konkrit mengenai apa yang dimaksud tersebut di atas adalah :

1. Semula dimohonkan ganti rugi berdasarkan ingkar janji, gugat dimohonkan untuk diubah sehingga berdasar ingkar janji agar tergugat dipaksa untuk memenuhi janjinya.

2. Semula dasar gugatan perceraian adalah perzinahan, kemudian gugat dimohonkan diubah sehingga dasar gugatan menjadi keretakan yang tidak dapat diperbaiki.

Perihal perubahan atas penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat setelah tergugat mengajukan jawaban, hal itu harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari tergugat, dan apabila pihak tergugat menyatakan keberatannya, maka permohonan mengenai perubahan atau penambahan gugat tersebut akan ditolak.

d. Pengikutsertaan Pihak Ketiga

Pada dasarnya didalam suatu sengketa atau perkara, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat (sebagai pihak yang mengajukan gugatan) dan pihak tergugat (sebagai pihak yang digugat oleh penggugat).

Namun, ada kemungkinan selama pemeriksaan perkara berjalan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga (intervinient) yang membela kepentingannya.

4. Perihal Pembuktian

Hukum acara perdata menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya karena yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapat kesempatan pertama untuk membuktikannya. Sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat (pasal 163 dan 164 HIR).

Yang dibuktikan pada dasarnya adalah peristiwanya bukan hukumnya, karena secara ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya (ius curia novit).

Tujuan pembuktian yaitu, memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkualisirnya, mengkonstituirnya maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.

Alat-alat bukti:

  • Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138,165,167 HIR,164,285-305 Rbg. S 1867 no.29 dan pasal 1867-1894 BW.

Alat bukti tertulis ialah sebagai sesuatau yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka maka seagal sesuatau yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

Potret atau gambar tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran, demikian pula dengan denah atau peta, meskipun ada tanda-tanda bacaannya, tetapi tidak mengandung satu buah pikiran atau isi hati seseorang. Itu semuanya hanya sekedar merupakan barang atau benda untuk meyakinkan saja.

  • Pembuktian dengan Saksi

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR (pasal 165-179 Rbg.), 1895 dan 1902-1912 BW.

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.

Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian. Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak boleh dibuat secara tertulis. Keterangan tertulis dari pihak ketiga ini merupakan alat bukti tertulis.

  • Persangkaan

Pasal 164 HIR (pasal 284 Rbg., 1866 BW) menyebut sebagai alat bukti sesudah saksi : persangkaan-persangkaan (vermoedens presumptions).

Tentang pengertian persangkaan banyak terdapat salah pengertian. Ada kalanya persangkaan itu dianggap sebagai alat bukti yang berdiri sendiri atau sebagai suatu dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian, dan memang merupakan “the slipperiest member of the family of legal terms”.

  • Pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR (pasal 174, 175, 176), Rbg (pasal 311, 312, 313) dan BW, (pasal 1923-1928). Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.

Pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.

Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan atau merupakan pernyataan tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.

  • Sumpah

Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.

Dari bahasan tersebut di atas dapat disimpulkan adanya 2 macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir dan sumpah untuk memberi keterangan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir. Termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah ( saksi) ahli, karena sebelum memberikan kesaksian atau pendapatnya harus diucapkan pernyataan atau janji akan memberi ketrangan yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya , sedangkan sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah sebagai alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) satu peristiwa.

Didalam hukum perdata kita para pihak yang bersengketa tidak boleh didengar sebagai saksi. Walaupun para pihak tidak dapat didengar sebagai saksi, namun dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari para pihak dengan diteguhkan dengan sumpah yang dimasukkan dalam golongan alat bukti.

  • Pemeriksaan Setempat (descente)

Yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat atau descente ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatanya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukanpengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.

Ketentuan mengenai pemeriksaan setempat kita jumpai dalam pasal 153 HIR, yang menentukan bahwa bila ketua menganggap perlu dapat mengangkat seorang atau dua orang komisarisdari majelis, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan setempat dan melakukan pemeriksaan, yang dapat memberikan keterangan kepada hakim. Di dalam praktek pemeriksaan setempat ini dilakukan sendiri oleh Hakim Ketua persidangan.

  • Keterangan ahli (Expertise)

Keterangan ahli ialah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.

Hakim harus memeriksa dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya: ia tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya unutk diperiksa. Hal itu bukan karena dia dianggap ahli atau diharapkan tidak memihak dalam menentukan atau memutuskan siapa yang benar diantara kedua belah pihak yang bersengketa.

Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu. Bahkan mengenai hukumpun hakim dapat meminta bantuan seorang ahli, misalnya untuk mengetahui hukum adat setempat, kepala adat atau kepala suku didengar sebagai ahli.

5. Perihal putusan Hakim

Mengenai isi minimum dan sistematik surat putusan diatur dalam pasal-pasal 178, 182, 183, 184 dan 185 H.I.R.

Pasal 178 H.I.R. menentukan bahwa :

  1. Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus mencukupkan alasan-alasan hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak
  2. Ia wajib mengadili segala bagian gugatan
  3. Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau meluluskan lebih dari apa yang digugat

Apabila penggugat lupa untuk menyebutkan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara apabila ternyata penggugat menang, tidak diperkenankan untuk menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara. Hal tersebut diatas telah tidak diminta oleh penggugat dan karenanya dilarang untuk dikabulkan.

Menurut pasal 183 H.I.R. banyaknya biaya perkara yang menurut keputusan harus dibayar oleh salah satu pihak, harus disebutkan dalam putusan. Disamping itu mengenai besarnya ganti rugi dan bunga harus pula disebut dalam putusan. Oleh karena itu putusan hanya sekadar menyebutkan :

- Menghukum tergugat untuk membayar kerugian kepada penggugat;

- Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara ini;

Adalah tidak lengkap dan seharusnya berbunyi :

- Menghukum tergugat untuk membayar kerugian kepada penggugat sebesar Rp………...…(…………….):

- Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp…………...(………..……).

Pada azasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Pengecualiannya ada, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai pasal 180 H.I.R. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.

Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang pelaksanaannya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama (pasal 195 HIR)..

Apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara sukarela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama. (pasal 196 dan pasal 197 HIR).

6. Perihal Upaya-upaya Hukum

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan Hakim. Dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.

Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap putusan perstek, banding dan kasasi. Pada azasnya, upaya hukum ini menangguhkan eksekusi. Pengecualinnya adalah apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorrad ex. pasal 180 (1) H.I.R.), maka meskipun diajukan upaya biasa, namun eksekusi akan berjalan terus.

Berbeda dengan upaya hukum biasa, mengenai upaya hukum luar biasa pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi. Yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan peninjauan kembali.

Jadi meskipun diajukan perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial atau diajukan permohonan peninjauan kembali, maka eksekusi berjalan terus. Hal mana dapat dibaca dari ketentuan pasal 207 ayat 3 H.I.R. dan pasal 66 ayat 2 UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial baru akan menangguhkan eksekusi yang bersangkutan apabila dengan mudah dan segera terlihat bahwa perlawanan yang diajukan tersebut benar-benar beralasan.

Disamping perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial juga dikenal perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan dan terhadap sita eksekutorial harus didasarkan hak milik, yaitu bahwa barang yang disita itu adalah milik pihak ketiga. Apabila pihak ketiga berhasil membuktikannya, maka sita yang telah diletakkan sepanjang terhadap barang milik pihak ketiga itu akan diperintahkan oleh Hakim untuk diangkat. Namun sebaliknya, apabila pelawan tidak dapat mebuktikan atas barang yang disita itu adalah miliknya, maka sita akan tetap dipertahankan terhadap barang tersebut.

Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri tergugat semula atas dasar bahwa barang yang disita untuk pembayaran utang suaminya itu merupakan barang gono-gini milik pelawan dengan terlawan tersita tidak dapat dibenarkan dan akan ditolak karena atas harta gono-gini dapat dipertanggungjawabkan ubtuk utang keluarga (suami atau istri). Manakala istri tergugat mendasarkan bahwa barang yang disita itu adalah merupakan harta asalnya, maka terhadap dalil tersebut bilamana ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut benar merupakan barang asalnya, Hakim akan mengabulkan perlawanan yang diajukan oleh istri tergugat diatas.

7. Perihal Banding

Salah satu upaya hukum adalah banding. Lembaga banding diadakan oleh pembuat Undang-undang, oleh karena dikhawatirkan bahwa Hakim yang adalah manusia biasa membuat kesalahan dan menjatuhkan suatu putusan. Oleh karena itu, dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi.

Dengan diajukannya permohonan banding, perkara menjadi mentah lagi. Putusan Pengadilan Negeri, kecuali apabila dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau putusan tersebut adalah suatu putusan provisional, tidak dapat dilaksanakan. Berkas perkara yang bersangkutan beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang ain-lainnya akan dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dan diputus lagi. Yang akan diperiksa adalah semua surat-suratnya. Jarang sekali terjadi bahwa orang yang bersangkutan yaitu penggugat dan tergugat diperiksa lagi oleh Pengadilan Tinggi. Hal itu dilakukan hanyalah apabila Pengadilan Tinggi menganggap bahwa pemeriksaan belum sempurna dilakukan dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi pemeriksaan tersebut sendiri.

Permohonan banding dapat diajukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal itu berarti, bahwa pihak yang dikalahkan dengan putusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan permohonan banding. Dalam hal gugat dikabulkan untuk sebagian (dan untuk bagian yang lain atau yang selebihnya ditolak) atau dalam hal telah diajukan gugat balasan dan baik gugat asal maupun gugat balik, dua-duanya dikabulkan atau ditolak maka kedua belah pihak dapat mengajukan permohonan banding, dengan kata lain permohonan banding yang diajukan oleh salah satu pihak tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang lain untuk mengajukan permohonan banding juga.

Permohonan banding supaya dapat diterima harus diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Pasal 7 (1) dan (2) Undang-undang No. 20 tahun 1947, menyatakan bahwa permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Bagi pemohon banding yang tidak berdiam dalam keresidenan tempat Pengadilan Negeri tersebut bersidang, waktunya dijadikan 30 hari.

Permohonan banding yang diajukan secara terlambat atau lewat dari tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang akan dinyatakan tidak dapat diterima. Untuk mengajukan permohonan banding, pihak yang bersangkutan terlebih dahulu harus membayar biaya permohonan banding kepada Pengadilan Negeri. Besarnya biaya tersebut ditaksir oleh Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dalam hal pemohon banding adalah benar-benar orang yang tidak mampu, hal mana harus dibuktikan dengan surat dari kepala desa yang bersangkutan berdasarkan pasal 12 dan seterusnya Undang-undang No. 20 tahun 1947, pemohon banding dapat dibebaskan dari pembayaran biaya banding.

Pasal 8 Undang-undang No. 20 tahun 1947 mengemukakan bahwa dari putusan Pengadilan Negeri yang dijatuhkan diluar hadir tergugat, tergugat tidak boleh minta pemeriksaan ulangan melainkan hanya dapat mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jika penggugat minta pemeriksaan ulangan, tergugat tidak dapat mempergunakan hak dalam pemeriksaan tingkat pertama.

Di kepaniteraan Pengadilan Negeri disediakan suatu register banding, dimana permohonan-permohonan banding dicatat. Pembanding harus menandatangani sehelai akta banding yang juga disediakan oleh Pengadilan Negeri. Dalam hal pembanding adalah seorang yang buta huruf maka akta banding tersebut harus diberi cap jempol oleh yang bersangkutan. Pasal 11 (3) menyebut “surat-surat”. Yang dimaksud adalah memori banding ialah suatu surat yang berisi alasan-alasan apa sebabnya pembanding mengajukan permohonan banding. Memori banding harus dengan jelas memuat apa sebabnya pembanding menganggap bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut adalah salah. Memori banding yang disusun oleh seorang Pengacara atau seorang ahli hukum akan memuat pula dengan cermat bagian mana dari suatu putusan yang dianggap salah dengan disertai dasar alasannya.

Untuk menyanggah memori banding yang diajukan oleh pembanding, pihak lawan dapat pula menghaturkan contra memori banding. Contra memori banding ini juga harus beberapa rangkap, satu rangkap untuk diri sendiri (arsip) dan yang lain untuk dilampirkan dalam berkas yang akan dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi dan salinan-salinan yang lain untuk pihak lawan. Penyebutan pihak-pihak hendaknya jangan salah. Yang mengajukan permohonan banding disebut pembanding, pihak lawan disebut terbanding.

8. Perihal Kasasi

Upaya hukum kasasi asal muasalnya timbul di Perancis. Setelah Belanda dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Netherland dan selanjutnya oleh pemerintah Belanda dibawa dan diterapkan di Indonesia.

Dengan demikian Indonesia menganut system kasasi atau system “continental”. Dalam system tersebut Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan Tertinggi bertugas membina keseragaman penerapan hukum di Indonesia dan menjaga agar hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat dan adil.

Perkataan kasasi berasal dari perkataan Perancis “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga apabila suatu permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan bawahan itu diterima oleh Mahkamah Agung, maka hal itu berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.

Dasar hukum bagi Pengadilan kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur dalam pasal 10 (3) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970, yang berbunyi : “Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain dari Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung”.

Hukum acara kasasi telah diatu secara lengkap dalam pasal 40 sampai dengan pasal 53 Undang-undang No. 14 tahun 1985.

Bab III Undang-undang No. 14 tahun 1985, mengatur tentang Kekuasaan Mahkamah Agung.

Pasal 28 menyatakan sebagai berikut :

  1. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a. Permohonan kasasi;

b. Sengketa tentang kewenangan mengadili;

c. Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam Mahkamah Agung.

Pasal 29 menyatakan :

Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan.

Selanjutnya pasal 30 menyatakan :

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena :

  1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
  2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
  3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Pemerikasaan dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung bukanlah merupakan pemeriksaan tingkat ketiga. Dalam tingkat kasasi perkara tidak menjadi “mentah” lagi, sehingga mengenai faktanya tidak dapat ditinjau lagi. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanya meneliti soal penerapan hukumnya saja, yaitu apakah putusan atau penerapan Pengadilan yang dimohonkan kasasi itu “melanggar hukum” atau “tidak”.

Pasal 40 menyatakan :

  1. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnuya 3(tiga) orang Hakim.
  2. Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dalam penjelasan atas pasal tersebut dikemukakan bahwa apabila Mahkamah Agung bersidang dengan lebih dari 3 orang Hakim, jumlahnya harus selalu ganjil. Maksudnya, apabila ada perbedaan pendapat antara para Hakim, maka akan dilakukan voting dan pendapat yang paling banyak pendukungnya yang akan menjadi putusan Mahkamah Agung.

Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya terbuka untuk umum, dengan demikian setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalanya pemeriksaan perkara tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR.

Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Kecuali, hakim memandang bahwa perkara tersebut menyangkut kepentingan umum, keselamatan negara, atau alasan-alasan penting lainnya yang dimuat dalam berita acara, maka hakim dapat menyatakan persidangan tertutup untuk umum. Ketentuan ini dapat dilihat dari pasal 17 UU 14/1970.

9. Perlawanan terhadap Sita Jaminan dan Sita Eksekutorial

Secara umum dikenal dua sita jaminan jenis:

a. Sita jaminan terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)

Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitur. Kata conservatoir sendiri berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.

b. Sita jaminan terhadap harta benda milik penggugat sendiri

Berbeda dari conservatoire beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain (termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon.

Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (i) sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, 260 Rbg) dan (ii) sita marital (Pasal 823-823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya).

Disamping kedua jenis sita tersebut, masih juga dikenal beberapa jenis/varian sita jaminan lain, misalnya (i) Sita conservatoir terhadap kreditur ; (ii) sita gadai atau pandbeslag ; (iii) sita conservatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia ; sita conservatoir atas pesawat terbang dan sita jaminan pada kepailitan.

Perlawanan terhadap Sita Jaminan dan Sita Eksekutorial :

1. Tidak merasa berhutang, harta disita

2. Kemungkinan banding dan kasasi

3. Pelawan yang benar, sita diangkat

4. Azas bahwa pelaksanaan putusan dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dan pengecualiannya

5. Salah penafsiran dalam praktek

6. Perlawanan pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi dan pengecualiannya

7. Siapa yang bnerhak menangguhkan eksekusi

8. Perlawanan yang diajukan oleh tersita

9. Pemegang gadai bukan pemilik dan tidak dibenarkan mengajukan perlawanan pihak ketiga

10. Pemegang hipotik tak berhak pula untuk mengajukan perlawanan pihak ketiga

11. Perlawanan yang diajukan oleh tersita dan perlawanan pihak ketiga juncto gugat balasan

12. Perlawanan pihak ketiga juncto Undang-undang perkawinan

10. Perihal Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan

a. Lembaga Peninjauan kembali dari masa ke masa

Dalam hukum acara yang diatur dalam R.V. untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan, dibuka kemungkinan untuk membuka kembali perkara yang sudah diputus oleh Pengadilan dan putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam perkara perdata, peninjauan kembali semula diatur dalam “Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering” (disingkat R.V.) yaitu hukum acara perdata yang dulu berlaku bagi golongan Eropa. Peninjauan kembali ini disebut “Request Civiel” dan diatur dalam pasal 385 dan seterusnya.

Meskipun dalam H.I.R. tidak terdapat suatu peraturan tentang peninjauan kembali, namun dalam praktek sejak lama request civiel diberlakukan dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam R.V. Hal itu dilakukan dengan mempergunakan kesempatan yang diberikan oleh pasal 393 H.I.R. dimana apabila praktek memang benar-benar membutuhkan.

Lembaga Peninjauan Kembali yang semula diatur dalam pasal 15 Undang-undang No. 19 tahun 1964, diatur kembali dalam pasal 21 Undang-undang N0. 14 tahun 1970, yang berbunyi : “Apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Pada tanggal 1 Desember 1980, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980, tentang Peninjauan Kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, baik untuk perkara perdata maupun perkara pidana. Setelah Undang-undang No. 8 tahun 1981, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berlaku. Maka dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 yang disempurnakan, Mahkamah Agung mencabut kembali Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 tanggal 1 Desember 1980, sepanjang mengenai Peninjauan Kembali putusan perkara pidana, yang selanjutnya diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

b. Lembaga Peninjauan Kembali Setelah Berlakunya Undang-undang No. 14 Tahun 1985

Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengatur lembaga peninjauan kembali secara terarah dan lengkap. Dengan demikian, maka dewasa ini ketentuan yang berlaku untuk peninjauan kembali khusus perkara perdata adalah pasal 66 dan sterusnya.

Dalam pasal 28 (1)c Undang-undang No. 14 tahun 1985 dinyatakan, bahwa Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya lembaga peninjauan kembali diatur dalam pasal 66 sampai dengan pasal 76.

Pasal 66 (1) menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali saja dan dalam pasal 66 (3) dinyatakan bhwa permohonan peninjauan kembali dapat dicanut selama belum diputus. Setelah dicabut, permohonan peninjauan kembali tidak dapat diajukan sekali lagi. Dalam pasal 66 (2) dinyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan. Mengenai hal ini perlu dikemukakan bahwa dalam hal putusan yang terhadapnya dimohonkan peninjauan kembali jelas-jelas salah dan pasti akan dibatalkan, maka adalah sangat bijaksana apabila pelaksanaan putusan yang jelas salah itu, ditangguhkan. Mahkamah Agung yang akan memerintahkan penangguhan tersebut.

Untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali, dapat dilihat dalam pasal 68 yang berbunyi sebagai berkut :

1. Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

2. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Dalam pasal 67 dinyatakan, bahwa permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat diketemukan;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

11. Perihal Pengaruh Lampau Waktu

Pengaruh Lampau Waktu Terhadap Gugatan. Perbedaan antara Kadaluwarsa dan Lampau Waktu

Dalam Hukum Barat ada dua macam kadaluwarsa yaitu :

1. Yang menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu kewajiban atau yang menyebabkan hak menuntut seorang menjadi gugur.

2. Yang menyebabkan seseorang memperoleh suatu hak tertentu. Kadaluwarsa ini mengharuskan adanya itikad baik dari orang yang akan memperoleh hak tersebut.

Kadaluwarsa adalah semacam upaya hukum, sehingga tentang adanya kadaluwarsa harus dikemukakan oleh pihak lawan dalam jawabannya. Apabila hak itu tidak dikemukakan, maka kadaluwarsa tidak berlaku secara otomatis, dengan kata lain Hakim “harus tinggal diam”, dan ia tidak diperkenankan untuk “karena Jabatan” menyatakan bahwa persoalan tersebut atau hak untuk menuntut telah kadaluwarsa.

Dalam hukum adat yang tidak tertulis hal lampaunya waktu misalnya akan berakibat bahwa kedudukan yang sebenar-benarnya mengenai sesuatu hal yang tidak dapat diketahui lagi dengan pasti karena terjadi “dahulu” sekali, saksi-saksi sudah tidak ada lagi yang dapat member keterangan yang berguna.

Adalah kesalahan penggugat, bahwa ia telah sekian lama, tanpa sesuatu alas an yang sah telah berdiam diri, telah tidak mengajukan gugatan, sehingga ia sekarang tidak dapat lagi membuktikan dalil yang menjadi dasar gugatan. Dalam soal warisan pada umumnya para ahli waris membiarkan waktu berlalu tanpa meminta pembagian, baru sesuatu waktu oleh karena kejadian luar biasa, maka timbul sengketa. Dalam persoalan macam ini, Hakim harus berhati-hati dan apabila mungkin menyelidiki keadaan yang sebenar-benarnya, untuk dapat memberikan bagian yang seharusnya diterima oleh masing-masing ahliwaris.

Menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn. Pengaruh lampau waktu dapat berakibat :

1. Bahwa suatu hutang oleh karena dibiarkan terlampau lama tidak ditagih lagi, atau hak seorang ahliwaris untuk menuntut menjadi hapus oleh karena ia sekian lama tinggal diam, meskipun ia tidak diikutsertakan dalam perjanjian jual-beli sawah yang merupakan bagian dari warisan tersebut.

2. Bahwa oleh karena pengaruh lampau waktu hal itu dianggap sebagai persangkaan untuk menganggap ada atau menganggap telah hilang suatu hak atau suatu fakta hukum. Bukti perlawanan dapat diajukan, akan tetapi kalau tidak diajukan hal tersebut dianggap telah terbukti.

3. Bahwa gugat dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena didasarkan atas hal-hal yang terjadi dahulu. Perkara telah kadaluwarsa, merupakan perkara lama.

Dalam hal pihak tergugat hendak mengemukakan pengaruh lampau waktu sebagai upaya hukum untuk dapat memenangkan perkaranya, dalam hukum adat, hal itu pula harus dikemukakan sebagai eksepsi dalam persidangan. Kalau hal tersebut tidak dikemukakan tidaklah dapat dibenarkan apabila Hakim mempergunakan hal tersebut untuk menyatakan gugat tidak dapat diterima karena putusan Hakim yang demikian itu melanggar tata tertib hukum acara.

Bahwa sampai dimana pengaruh lampau waktu berakibat terhadap suatu gugatan harus ditinjau dari kasus ke kasus dan selalu harus diperhatikan perkembangan masyarakat dimana kasus tersebut terjadi.

Contoh Kasus (50 Pekerja vs Panin Lestari Internusa (Sogo))

Masalah bermula ketika PT PLI memutuskan untuk menskors para pekerja, mengingat adanya perubahan konsep penjualan di Plaza Indonesia. Gugatan PLI dengan dasar force majeure di PHI Jakarta ditolak oleh Majelis hakim. Dalam putusannya, Hakim memerintahkan PLI mempekerjakan kembali para pekerja, karena perusahaan itu dianggap tidak maksimal dalam upayanya agar pekerja terhindar dari PHK. Setelah putusan, pekerja berharap segera mendapatkan hak-hak mereka, setidaknya upah selama proses yang terhenti pembayarannya. Apalagi putusan hakim disertai amar dwangsom, uang paksa jika putusan tak dilaksanakan. Masalahnya, saat itu hakim tidak memerintahkan PLI membayar lewat putusan selanya.

Puluhan pekerja yang menggugat tidak mendapatkan gaji bulanannya, sesuatu yang dijamin oleh Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Pasal 96 UU Nomor 2 Tahun 2004 juga mewajibkan hakim memerintahkan pembayaran tersebut.

Karyawan sempat mengajukan gugatan perselisihan hak untuk menuntut dibayarnya upah bulanan sampai keluarnya putusan Kasasi. Pada detik-detik terakhir sidang pertama, para pekerja mencabut gugatan mereka. Mereka memilih mengadukan Direksi PLI ke Polda Metro Jaya. Dalam laporan para pekerja, Direktur Utama PLI dituduh melakukan penipuan dan atau penggelapan atau pelanggaran hukum ketenagakerjaan sebagaimana diatur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 372 KUHP atau Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tidak jelas bagaimana nasib laporan mereka.

Menjelang lebaran, tampaknya karena banyak kebutuhan mendesak, para pekerja menyerah. Meski sebenarnya menang ditingkat pertama, mereka menerima dipecat karena PLI pembayaran dua kali pesangon dan dibayarnya gaji dan tunjangan selama proses. Ironisnya, hasil kesepakatan itu adalah sedikit diatas tawaran PLI dalam gugatannya. Intinya, buruh kembali kalah.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah kita dapat mengetahui secara jelas tentang hukum perdata. Pengertian hukum perdata yaitu, Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.

Hukum perdata juga memiliki arti lain yaitu, Rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga Hukum Dagang) dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonnis) hakim juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; rangakaian peraturan-peraturan hukum tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata material.

Dari makalah ini kita juga dapat mengetahui asas-asas dari hukum perdata itu sendiri. Asas daripada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata ialah bahwa pelaksanaannya yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.

Selain itu didalam makalah ini juga dibahas tentang tata cara pelaksanaan sidang hukum perdata. Isi dari tata cara pelaksanaan sidang hukum perdata yaitu pengajuan gugatan, perihal acara istimewa, perihal pemeriksaan dalam sidang pengadilan, perihal pembuktian, perihal putusan hakim, perihal upaya-upaya hukum, perihal banding, perihal kasasi, perlawanan terhadap sita jaminan dan sita eksekutorial, perihal peninjauan kembali putusan pengadilan dan perihal pengaruh lampau waktu.

Didalam makalah ini juga terdapat contoh kasus dari hukum perdata. Contoh kasus yang dibahas adalah tentang 50 Pekerja vs Panin Lestari Internusa (Sogo). Kasusnya adalah tentang PT PLI (Panin Lestari Indonusa) yang memutuskan untuk menskors para pekerja, mengingat adanya perubahan konsep penjualan di Plaza Indonesia.

Terdapat juga salah satu contoh gugatan dari hukum perdata, yaitu gugatan Wanprestasi, yang berbentuk surat gugatan. Isi dari surat tersebut antara lain, nama dan alamat penggugat dan tergugat dan penjelasan secara detil isi dari gugatan. Contoh ini bisa lebih mempermudah kita dalam memahami hukum perdata.

Lampiran

Contoh gugatan Wanprestasi

Kepada Yth,

Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta …………………….

di Jakarta

Hal : Gugatan Wanprestasi

Dengan hormat,

Untuk dan atas nama klien kami ……………………… …………………………………………Advokat dan pembela Umum yang tergabung dalam …………………………………………….., berdasarkan surat kuasa khusus (terlampir), dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama:

1. Nama :

Alamat :

Dengan ini mengajukan Gugatan Wanprestasi terhadap :

1. ……………………, beralamat di Jl. ……………………. Jakarta ………………., untuk selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT-I.

2. ……………………, berlamat di Jln. ………………………. Jakarta ……….., dan untuk selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT-II.

DALAM POSITA

Adapun alasan, dalil serta landasan yuridis Penggugat untuk mengajukan gugatan ini adalah sebagai berikut :

1. Bahwa, Tergugat-II, semula adalah Direktur Utama dari Tergugat-I, yang bergerak di bidang ……………………… yang menjalankan kegiatan usaha antara lain berupa ………. dengan cara cicilan/angsuran untuk pembelian …………………… berdasarkan kontrak atau perjanjian lainnya.

2. Bahwa, Tergugat-II ………………………………………………………………………………………………………………………………..

3. Bahwa, Tergugat-I melalui Tergugat-II dalam beberapa kali presentasi dengan begitu meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai Direksi Perusahaan tersebut bersama-sama dengan pemegang saham lainnya menjamin usaha tersebut dengan jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing (Bukti-P.1).

4. Bahwa, karena prospek usaha ………………… nampak baik pada waktu itu dan ada jaminan yang diberikan tersebut di atas, maka Penggugat dan Tergugat-I yang diwakili oleh Tergugat-II sepakat mengikatkan dirinya untuk terikat dalam kontrak Perjanjian Kredit No. ………………………. sebesar Rp. 0.000.000.000,- (0 milyar Rupiah) tanggal ……………………… yang telah disahkan oleh Notaris ……………………… dibawah No. ……………… (”Perjanjian Kredit”) (Bukti-P.2) dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan tanggal ……………………. yang telah disahkan oleh Notaris ………………………….. dibawah No…………….. (Bukti-P.3).

5. Bahwa, sejak Perjanjian Kredit ditandatangani, maka terlihat kegiatan usaha Perusahaan berkembang baik, bahkan usaha Tergugat-I menunjukkan terdapat banyak peningkatan jumlah nasabahnya, karena itu Perusahaan memerlukan tambahan biaya lagi. Bahwa karena hal tersebut, maka tahun …………… berturut-turut Penggugat mengucurkan dana lagi kepada Tergugat-I yaitu sebagai berikut :

a. Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No………… tanggal ……………(Perubahan I), dimana plafond kredit ditambah Rp. 0.000.000.000,- (0milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan I menjadi sebesar Rp. 00.000.000.000,- (00 milyar Rupiah); [bukti-P.4]

b. Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No………………. tanggal ………………….. (Perubahan II), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 0.000.000.000,- (0 milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 00.000.000.000,- (0 miiyar Rupiah);(Bukti-P.5)

c. Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No…………. tanggal ………….. (Perubahan III), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.0.000.00.0.000,- (0 milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 0.000.000.000,- (0 milyar Rupiah). (Bukti P.6)

6. Bahwa, sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kredit pada butir …………..diatas telah disepakati sebagai berikut bahwa “……………………………………………………………………….. …………………………………..;

7. Bahwa Para Tergugat kemudian secara diam-diam merubah anggaran dasar Perseroan tanpa seizin tertulis Penggugat pada tanggal ……………….., tindakan Para Tergugat ini jelas bertentangan dengan butir …….. Perjanjian Kredit (vide Bukti P. 2).

8. Bahwa, karena Perjanjian Kredit tersebut telah disepakati antara Penggugat dengan Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai pihak yang mewakili Perusahaan, karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh kedua pihak. Oleh karena itu tindakan perubahan anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat, adalah batal demi hukum.

9. Bahwa, kemudian diketahui setelah pengalihan Dewan Direksi tersebut dimaksudkan agar Tergugat-II tidak bertanggung jawab lagi ………………………………………………………..

10. Bahwa, ternyata setelah dilakukan pemeriksaan keuangan oleh Penggugat, dana kredit yang telah Penggugat berikan tidak dapat di-per-tanggung-jawab-kan lagi oleh Tergugat II, yang pada waktu itu berkapasitas sebagai Direktur Utama dari Tergugat- I, karena nampak berusaha untuk mengalihkan tanggung jawabnya pada pihak lain.

11.Bahwa, setelah Penggugat berkali-kali menghubungi para Tergugat untuk menyelesaikan tanggung jawab pengembalian kredit tersebut, ternyata tidak ada tanggapan yang baik dari Tergugat-I dan Tergugat-II untuk menyelesaikan.

12.Bahwa, Penggugat pada tanggal …………….. mendapat surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan yang pada pokoknya menyatakan bila Tergugat-II adalah penanggung jawab dalam Perusahaan (vide bukti P. 7) .

13. Bahwa, wajar bila Penggugat dalam hal ini hanya menuntut tanggung jawab Tergugat-II karena dalam penandatanganan Perjanjian Kredit, segala perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian pengalihan Hak (cessie) Tagihan (vide bukti P.2 s/d P.6) dilakukan Tergugat-II, demikian pula pengelolaan uang dari tanggal ………………. sampai dengan tanggal …………….. berada dalam tanggung jawab Tergugat-II, sedangkan gugatan terhadap pengurus atau pemegang saham lain akan dilakukan dalam gugatan tersendiri.

14.Bahwa dengan demikian dalam penandatanganan Perjanjian Kredit tersebut maupun pengelolaan keuangan pada waktu itu berada dalam tanggung jawab Tergugat-II dan telah terbukti bahwa Tergugat-II telah lalai dalam menjalankan kewajibannya. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal ………ayat ………dan ……..Undang-Undang No. ………. tentang ……………….., Tergugat-II dapat dituntut untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi.

15. Bahwa kerugian akibat kredit macet yang diderita Penggugat per tanggal ………………………………………… dengan perincian sebagai berikut:

• … ……………………………….

• … ………………………………

• … ………………………………

16. Bahwa, karena ada jaminan pribadi dari Tergugat-II (vide P.1) dan dengan adanya surat dari pemegang saham lainnya (vide P.7) dimana pengurusan dari pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu berada ditangan Tergugat-II, maka secara hukum baik Tergugat-I maupun Tergugat-II bertanggung jawab secara tanggung renteng.

17. Bahwa, untuk menjamin agar gugatan ini tidak sia-sia dan guna menghindari usaha tergugat untuk mengalihkan hartanya pada pihak lain, maka Penggugat mohon agar dapat dilakukan sita jaminan terhadap:

a. Sebidang tanah dan bangunan____________(milik Tergugat-I);

b. Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. ………….Jakarta ………………. yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta ………….. atas nama Tergugat-II;

c. Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jln……………. Jakarta …………. yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta ………….atas nama Tergugat-II.

18.Bahwa, karena gugatan ini didukung bukti-bukti yang otentik, maka Penggugat mohon agar putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij -voorraad).

19. Bahwa, wajar pula bila Penggugat membebankan adanya uang paksa (dwangsom) yang harus dibayar Tergugat bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu sebesar Rp. …..000.000,- (0 juta) per hari.

PETITUM

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Penggugat dengan segala kerendahan hati mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk memutuskan sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi;

3. Menyatakan secara hukum Tergugat sebagai salah satu pemegang saham yang turut bertanggung jawab secara pribadi atas Perjanjian Kredit (berikut segala perubahannya dan perjanjian yang terkait (vide P.2 s.d. P.6) yang dibuat antara Perusahaan dengan Penggugat;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.____________ kepada Penggugat secara tunai;

5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan;

6. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi, maupun verzet (iut voerbaar bij voorraai);

7. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. seratus juta Rupiah per.hari bila Ialai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak tanggal putusan perkara ini sampai dengan tanggal dilunasinya seluruh hutangnya;

8. Meghukum Tergugatuntuk membayar segala biaya perkara yang timbul dalam perkara ini

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (EX

AQUO ET BONO)

Hormat kami,

Kuasa Hukum Penggugat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar